Masyarakat memiliki cara pandang terhadap kebudayaan, kadang-kadang konsep sistem kepercayaan (beliefs systems), religi (religion) dan iman (faith) dipakai secara bergantian untuk menerangkan seperangkat kewajiban yang harus dijalankan oleh individu atau kelompok dalam setiap masyarakat. Seperti kata Jonathan Glover, sistem kepercayaan adalah satu set kepercayaan yang bersistem dan bagian-bagiannya saling mendukung. Bagian-bagian dari setiap sistem kepercayaan tersebut dapat diklasifikasikan sebagai religi, filosofis, ideologis, atau kombinasi dari ini. Jonathan Glover mengatakan bahwa kepercayaan merupakan sebagian dari sistem kepercayaan, dan sistem kepercayaan ini sulit untuk benar-benar direvisi. Glover menekankan bahwa kepercayaan yang sudah menjadi sebuah keyakinan itu sulit di ubah. (Alo Liliweri, 109-110: 2014).
Perjalanan sejarah kehidupan orang Bima yang telah menjadi milik masyarakat yang berwujud sebagai nilai-nilai kebudayaan, bahwa sejak Ruma Ta Ma Bata Wadu dilantik menjadi raja Islam yang pertama dengan gelar Sultan Abdul Kahir, agama Islam merupakan anutan seluruh masyarakat Bima, hanya sebagian kecil saja yang enggan menerima dan memeluk agama Islam. Orang Bima umumnya adalah pemeluk agama Islam yang taat. Mereka mempunyai falsafah hidup Maja Labo Dahu, yang bermakna “malu apabila melalaikan perintah agama dan adat”. Dalam kehidupan agama orang Bima di bimbing dengan falsafah Maja labo Dahu. Dou mbojo ntoina na Maja Labo Dahu ku (orang Bima dulu sangat malu dan takut). Malu dalam artian kalau tidak bisa dalam mendirikan syariat agama Islam, Na majaku karawi ma iha (malu untuk berbuat tidak baik).
Pendidikan agama dalam bentuk madrasah dan tempat peribadatan (mesjid) hampir terdapat di setiap desa. Ajaran Islam memang sudah lama disiarkan ke daerah ini (diperkirakan pada awal abad ke-17) yang dibawa oleh orang Bugis, Makassar, Minangkabau dan Melayu. Khususnya bagi orang Melayu, mereka dianggap sangat berjasa terhadap kerajaan Bima. Selain menyebarkan agama Islam, orang Melayu turut berjuang menumpas para bajak laut. Mereka dianggap sebagai saudara, diberi tanah untuk pemukiman, mendapat hak istimewa dan dibebaskan dari pajak (Haris, 1997:35-36).
Sebelum agama Islam berkembang dan dianut oleh dou Mbojo atau orang Bima, secara turun temurun mewarisi kepercayaan animistis-dinamistis dari nenek moyang mereka. Sebuah sistem kepercayaan merupakan organisasi dari nilai-nilai yang dihormati dan dijalankan sebagai bagian dari keyakinan kolektif dari suatu masyarakat atau budaya tertentu. Dalam makna dihormati dan dijalankan itulah sebuah sistem kepercayaan merupakan pedoman dan pemandu dari pikiran, kata-kata, dan tindakan individu atau kelompok yang mencoba untuk menjelaskan dunia di sekitar kita. Dalam sistem kepercayaan orang Bima atau nenek moyang kita dulu mengenal kepercayaan makamba makimbi yang dikenal dengan animisme dan dinamisme. Pada masa kesultanan juga orang Bima memiliki banyak kepercayaan, diantaranya pemahaman sufistik, tarekat dan lainnya. Keyakinan terhadap roh nenek moyang yang disebut oleh orang Bima Parafu Marafu.
Orang Bima memiliki beberapa bentuk kepercayaan antara lain; (1) Parafu-pamboro, kepercayaan pada roh-roh nenek moyang yang dapat membawa kebaikan atau bencana bagi mereka; (2) Dewa dan Bala, dewa dalam pengertian roh dari suatu badan halus, jin yang dapat menimbulkan celaka, sedangkan bala ialah badan halus yang membawa petaka bagi masyarakat berupa penyakit menular; (3) Rade Karama, kepercayaan pada kuburan keramat tempat para roh dari orang-orang yang berjasa dalam masyarakat; (4) Aijima, kepercayaan pada suatu benda tertentu yang dianggap mempunyai kekuatan gaib; (5) Sihi, kepercayaan pada kekuatan ilmu sihir; (6) Daha Rodano, kepercayaan kepada kekuatan gaib yang ada pada senjata-senjata pusaka. Kini berkat pengaruh ajaran agama Islam, kepercayaan animistis-dinamistis tersebut memudar. Walaupun masih ada namun tidak berarti lagi (Suastika, 1990: 90-94).
Masa Kesultanan Bima, kedudukan Sultan sebagai khalifah menumbuhkan alam pikiran tertentu bagi mereka dalam perkembangan agama. Masyarakat mendapat ajaran Islam secara lebih murni. Kehidupan mereka dilandasi dengan ketauhidan. Itulah sebabnya dengan pemerintah kolonial Belanda dahulu mereka tidak banyak mengenal kompromi dan melakukan pemberontakan. Perkembangan agama Islam tidak bisa dilepaskan dari peran para ulama. Kedatangan para ulama sebagai mubalig dari Jawa, Sulawesi dan Melayu telah menjadikan Bima menjadi Islami. Sejak berdirinya Kesultanan Bima hingga sekarang, para ulama Bima selalu berjuang membela kebenaran, menghadapi penghianatan, memimpin laskar menghadapi pasukan kolonial Belanda, memberi fatwa-fatwa dan dakwah serta mengkoordinir upacara-upacara keagamaan. Selain itu para ulama Bima selalu berpartisipasi dan mendukung dalam perkembangan pendidikan Islam. (Nuryahman,2011:404-410).
Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi saat ini sangat memberikan pengaruh terhadap sistem kepercayaan orang Bima. Tingkat pendidikan yang semakin tinggi mampu mempengaruhi cara berpikir atau cara pandang orang Bima terhadap kepercayaannya. Dunia pendidikan dengan doktrin rasionalisasinya terhadap para lulusannya sedikit memberikan pengaruh baik itu dari cara berpikir.