Skip to main content

NILAI-NILAI LUHUR YANG TERKANDUNG DALAM FALSAFAH MAJA LABO DAHU

Pada masyarakat Bima terdapat sebuah falsafah atau pandangan hidup yang pada dasarnya diharapkan mampu menjadikan masyarakat Bima memiliki karakter atau pegangan hidup yang sesuai dengan seperti apa yang diinginkan oleh falsafah tersebut. Falsafah itu berbunyi Maja Labo Dahu yang sacara sederhana dapat diartikan malu dan takut, yang menjadikan sebagai tuntutan tingkah laku, perbuatan dalam hubungan sehari-hari masyarakat agar mampu berbuat baik.

Nilai-Nilai luhur yang terdapat dalam ajaran Maja Labo Dahu yaitu seperti ajaran tentang ketuhanan, Manusia, Alam serta ajaran-ajaran yang mengatur bagaimana manusia hidup di bumi ini serta bagaimana konsep-konsep kebaikan yang harus dijalankan dalam proses kehidupan. Penciptaan Falsafah hidup atau pandangan dalam masyarakat Bima ini cukup menarik jika dilihat sebagai suatu motifasi bagi semua masyarakat Bima untuk bisa hidup atau mencapai kehidupan yang lebih baik di dunia maupun di akhirat. Tetapi pada akhir ini yang menjadi permasalahan adalah bagaimana resistensi ajaran atau falsafah Maja Labo Dahu ini seiring dengan perkembangan jaman terlihat semakin lama semakin kompleks. Perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang pada saat ini hadir dengan menawarkan segala bentuk falsafah baru sehingga memberikan pengaruh yang dapat melunturkan dan meninggalkan semangat orang Bima dalam mengejawantahkan ajaran Maja Labo Dahu tersebut dalam kehidupan.

Melihat perkembangan teknologi dan informasi pada saat ini sangat memberikan kemudahan untuk masuknya budaya luar yang terlihat lebih maju dalam kehidupan masyarakat saat ini. Secara perlahan generasi mulai mengadopsi budaya luar sebagai gaya dalam pola pergaulan, sedangkan pengetahuan atau penanaman nilai-nilai budaya lokal terutama Falsafah Maja Labo Dahu baik dalam lingkungan masyarakat maupun keluarga sangatlah minim, ditambah lagi dengan peranan lembaga pendidikan belum secara maksimal  dalam menggali dan mewariskan kebudayaan warisan leluhur tersebut.

Peran pendidikan sebagai suatu proses belajar pada saat ini sangatlah penting dalam menginternalisasikan nilai-nilai Falsafah Maja Labo Dahu kedalam diri setiap individu. Pendidikan sebagai proses transformasi ilmu pengetahuan diharapkan mampu melewati tantangan dalam menjadikan Falsafah Maja Labo Dahu menjadi falsafah hidup bagi masyarakat Bima pada umumnya. Sangat besar peran pendidikan dalam kehidupan masyarakat, baik dalam hal mewujudkan pembangunan sumber daya manusia maupun transformasi masyarakat kearah yang lebih baik. Melalui kegiatan belajar dan pembelajaran disekolah menjadi salah satu media untuk mentransfer nilai-nilai kebudayaan kepada generasi penerus, sehingga eksistensi sebuah kebudayaan sangat didukung oleh peranan pendidikan begitupun dengan falsafah Maja Labo Dahu. Oleh karena itu melalui tulisan ini sangat menarik untuk menggali lebih mendalam nilai-nilai Falsafah Maja Labo Dahu. Kelangkaan pengkajian dan penanaman nilai-nilai budaya lokal merupakan salah satu faktor penyebab terjadinya perubahan sosial dalam kehidupan masyarakat yang cenderung menggiring masyarakat untuk lupa pada hal-hal yang bersentuhan dengan nilai-nilai kedaerahan.

Etika dalam kehidupan orang Bima dapat dikenal melalui makna falsafah yang sudah ada sejak zaman kesultanan Bima. Falsafah itu mengandung nilai yang menjadi pedoman dalam kehidupan bermasyarakat. Ajaran atau falsafah itu merupakan tuntutan tata kehidupan yang beradab, yaitu sesuatu yang bernilai dalam kehidupan yang dilandasi dengan nilai-nilai yang dijunjung tinggi dan dipertahankan oleh orang Bima dalam menjalani proses kehidupannya. Dalam setiap ajaran dan falsafah hidup tersebut mengandung norma-norma yang merupakan salah satu sarana dalam pengendalian diri bagi setiap orang Bima.

Sejak zaman kesultanan, Dou Mbojo atau orang Bima telah mengenal adanya falsafah atau pedoman hidup yang mewarnai kehidupan bermasyarakat dan menjalankan pemerintahan. Ajaran etika tersebut dipertahankan sebagai suatu warisan leluhur yang sangat tinggi nilainya, namun sedikit demi sedikit pada saat ini mulai memudar dalam kehidupan orang Bima.

 Orang Bima dalam menjalani kehidupan mengenal falsafah hidup Maja Labo Dahu. Makna ungkapan Maja Labo Dahu sangat dalam bagi kehidupan orang Bima. Secara filosofis ungkapan tersebut menunjuk kepada masalah aktifitas manusia secara total. Maja (malu) bukan terbatas pada sisi kehidupan tertentu, tetapi menyangkut masalah martabat, harga diri dan kehormatan yang terangkum, untuk di pelihara, diwujudkan dan dipertahanakan dalam kehidupan sehari-hari. Setiap orang memiliki kewajiban untuk menjaga, menegakkan malu, agar tidak tercemar di mata orang lain, umumnya masyarakat luas. Demikian halnya Dahu (takut). Takut bukan terbatas pada sisi kehidupan tertentu, tetapi mencakup segala aktifitas kehidupan secara total yang selalu dijaga dan diperthankan dalam kehidupan sehari-hari secara rill. (Hasan Ali, 25: 2014)

Maja (malu) dan Dahu (takut) memiliki kandungan yang berbeda, namun tidak terpisahkan, artinya tidak ada rasa malu tanpa ada rasa takut, demikian juga sebaliknya. Apabila manusia hanya memiliki rasa malu tanpa rasa takut, atau sebaliknya, berarti tidak ada keseimbangan dalam dirinya.

Maja Labo Dahu (malu dan takut), filosofi orang Bima tidak terbatas pada orang dan golongan tertentu, tetapi semua golongan, baik golongan kaya, miskin, tua, muda, pejabat maupun rakyat biasa. Indikasinya adalah segala aktifitas orang Bima tetap tercermin pada falsafah atau prinsip Maja Labo Dahu tersebut. Disisi lain manusia dalam berbuat maupun bertindak selalu mengevaluasi diri, sebab Maja Labo Dahu, malu dan takut bukan hanya patokan, tetapi juga menjadi sebuah cermin. Malu dalam kehidupan orang Bima itu malu tidak bekerja, malu ketika melanggar hukum adat. Orang Bima memiliki rasa takut yang dipahami oleh orang Bima adalah takut dalam melalaikan perintah agama, adat istiadat, dan melakukan kesalahan-kesalahan yang lainnya. Setiap orang Bima yang keluar daerah selalu memegang teguh Maja Labo Dahu.

Orang tua-tua Bima selalu mengingatkan bahwa hidup itu selalu bercermin pada diri. Maja Labo Dahu sesungguhnya menggugah rasa dan pikiran untuk berbuat dan bertindak secara jujur, hati-hati, teliti dan tidak gegabah. Sedangkan secara eksternal, bersikap terbuka, menghargai orang lain, ramah, memiliki kasih sayang dan saling mencintai kepada sesama.

Tidak ada hidup yang tidak saling membutuhkan. Persoalannya, terletak pada kepentingan dan takaran. Secara antropologis orang yang keluar dari takaran dan kepentingan, berada dalam ruang gerak yang tak terkendali. Maja Labo Dahu tidak memiliki batas wilayah, tidak memiliki ruang gerak. Labelnya tetap mengantongi kesabaran beserta kesucian.

Oleh sebab itu, para leluhur Bima memanifestasikan Maja Labo Dahu ketika anak merantau, apakah untuk menuntut ilmu atau mencari pekerjaan, berlayar atau anak menjelang upacara perkawinan. Sebelum anak menapaki anak tangga pertama, sambil memegang bahu anaknya berkata “Maja Labo Dahu” anakku. Ungkapan tersebut disamping sebagai motivasi, juga mengandung wasiat yang harus ditaati. Bagi orang tua Bima, hanya orang yang mampu menerapkan dan menempatkan prinsip Maja Labo Dahu yang memiliki predikat hidup sebagai orang baik. Kita memakai kacamata masing-masing, anak yang menuntut ilmu tidak memperoleh ilmu dengan baik, sama halnya dengan kehidupan keluarga baru saja menikah tapi sudah cerai atau cekcok setiap saat. Ini wujud kehidupan yang kurang memahami dan menghayati filosofi hidup Maja Labo Dahu. Dalam konteks seperti itu, Maja Labo Dahu menuntut jati diri yang utuh dalam penerapannya secara intens. Artinya bukan kehidupan yang memandu Maja Labo Dahu, tetapi Maja Labo Dahu yang memandu kehidupan. Sehingga dapat disimpulkan secara sederhana ada empat aspek yang dirangkum oleh Maja Labo Dahu dalam proses interaksi kehidupan orang Bima. Pertama, manusia mengadakan interaksi dengan dirinya. Kedua, wujud kehidupan manusia dengan manusia lainnya. Ketiga, wujud kehidupan manusia dengan lingkungannya. Empat, wujud kehidupan manusia dengan Tuhannya.

Keempat aspek tersebut saling mempengaruhi dan saling membutuhkan. Mungkinkah manusia hidup tanpa orang lain. Mungkinkah manusia dapat menjalankan aktifitas dengan baik, tanpa memanfaatkan potensi dirinya. Memanfaatkan potensi diri bukan hanya dengan kemampuan dan kesanggupan, tetapi bagaimana seseorang menempatakan dan memandu kata hati dalam porsi yang wajar. Kekalahan manusia bukan oleh orang lain, tetapi oleh dirinya sendiri. Siapa yang mampu memahami dirinya secara intens, berarti dia mampu menguasai dirinya.

Popular posts from this blog

FAKTOR PENYEBAB DAN PROSES TRANSFORMASI BUDAYA

Transformasi budaya diawali oleh adanya unsur keterbukaan, baik yang dipaksakan maupun yang dikarenakan oleh karakter khas kebudayaan tertentu yang mudah menerima kehadiran budaya asing. Pergeseran-pergerseran yang terjadi antara setiap subbudaya kerap berjalan tidak sejalan, ada yang secara rupa sangat cepat, namun secara teknologis agak tertinggal, ada pula yang secara keseluruhan fisik telah bergeser jauh ke depan, tetapi secara mentalitas masih terbelakang. Mengamati fenomena budaya, proses transformasi juga dapat diamati pada pergeseran nilai estetik. Pergeseran nilai estetik memiliki ketertautan dan keterkaitan secara langsung dengan proses transformasi budaya sebuah bangsa yang dipicu oleh adanya keterbukaan budaya, sesuai dengan pendapat (Agus Sachari, 83: 2005) Hal itu telah dibuktikan melalui perjalanan historis teraga di indonesia, sejak masa prasejarah, Hindu-Budha, Islam, masa kolonial hingga masa Orde Baru. Hal yang sama juga terjadi pada proses transformasi bangsa E...

LATAR BELAKANG MPA'A GANTAO DI MASYARAKAT BIMA

Dalam seni tari Bima, semua jenis tarian rakyat disebut Mpa’a ari mai ba asi (Tari diluar pagar istana). Hal ini berarti bahwa atraksi kesenian ini tumbuh dan berkembang diluar lingkungan istana, yang lazim di sebut tarian rakyat. Meskipun tarian rakyat tumbuh dan berkembang di luar istana, namun sultan melalui para seniman istana tetap mempertahankan pertumbuhan dan perkembangan tarian rakyat. Dengan demikian mutu tari tetap terpelihara dan terpacu pada nilai, norma agama dan adat yang islami. (M. Hilir Ismail, 2006 : 23). Berbicara tentang latar belakang Mpa’a Gantao sampai sekarang belum ada penjelasan yang bisa dijadikan sebagai pedoman, tetapi dari cerita yang berkembang di masyarakat  Bima. Mpa’a Gantao berasal dari Sulawesi selatan yang namanya Kuntao. Mpa’a Gantao ini dimainkan pada saat islam masuk di tanah Bima. Mula-mula Kuntao atau yang dikenal di masyarakat  Bima Gantao ini dimainkan oleh para pedagang dari Sulawesi untuk mengumpulkan masyarakat agar barang d...