Gambar Istana Kesultanan Bima
Sekarang dijadikan sebagai Museum daerah Bima.
Sejak abad ke-14 daerah Bima belum merupakan daerah kerajaan, akan tetapi sudah mengenal tata cara mengatur masyarakat yang terdiri dari berbagai suku yang mendiami lima bagian daerah Bima, yakni dibagian selatan, barat, utara, timur dan tengah. Bima pada waktu itu disebut dengan Mbojo dan wilayah daerahnya disebut Dana Mbojo (tanah Bima), sedangkan untuk menyebut orangnya disebut Dou Mbojo (orang Bima).
Kisah sejarah asal mula kerajaan Bima di awali oleh kedatangan Indra Zamrud dan Indra Kumala dalam O’o Potu (bambu besar) mendarat di pantai selatan Dompu dari Nisa (pulau) Satonda. Mereka menyebut dirinya adalah anak keturunan sang Bima dengan Puteri Naga di Nisa Satonda, yang diperintahkan untuk pergi dan menetap di Bima. Dari perjalanannya menuju Bima melalui Doro Parewa dan Doro Londa (gunung Londa) sampailah mereka di Padolo dan disana dijemput oleh Ncuhi Dara dan Padolo. Jadilah Indra Zamrud dibesarkan oleh Ncuhi Dara dan Indra Kumala oleh Ncuhi Doro Woni. Karena sesuatu hal Indra Kumala pergi ke jurusan timur dan hilang. Nama tempat hilangnya itu kemudian disebut dengan Oi Mbo (sungai tempatnya mbora/hilang).
Perjalanan waktu berlalu, atas kesepakatan semua Ncuhi dan seluruh rakyat Dana Mbojo diangkatlah Indra Zamrud menjadi raja Bima pertama dengan nama Maharaja Indra Zamrud. Dengan demikian raja Bima ini memerintah wilayah yang pada jaman Ncuhi disebut dengan Dana Mbojo, wilayah kekuasaan lima Ncuhi. Dari Indra Zamrud lahir raja-raja yang memerintah tanah Bima, mulai dari puteranya yang diperoleh dari istri seorang anak peri yang turun mandi di Telaga Te (di uatara kota Bima), lurus kebawah sampai kepada sultan terakhir tanpa putus sampai abad ke-20 sebagaimana tertulis di dalam Bo kerajaan Bima berupa silsilah Raja Bima. (Hilir Ismail, 34:2004).
Mbojo atau Dou Mbojo yang biasa pula dinamakan suku bangsa Bima. Mereka berdiam terutama dalam wilayah kerajaan Bima termasuk pulau Sangiang dan sebagian lainnya dalam wilayah Dompu, pulau Sumbawa, Provinsi Nusa Tenggara Barat (NTB). Di wilayah Bima mereka merupakan kelompok yang jumlahnya dominan, yang tersebar dalam beberapa kecamatan yaitu Kecamatan Sanggar, Rasanae, Wera, Wawo, Woha, Belo, Monta, Sape, Donggo, dan Bolo. Daerah Kabupaten Bima dahulu bernama Mbojo (Sridarma, 1988:53).
Populer di kalangan masyarakat dengan istilah-istilah Dana Mbojo artinya Tanah Bima, Nggahi Mbojo artinya bahasa Bima dan Dou Mbojo artinya orang Bima dan lain-lain. Kata Mbojo berasal dari kata Babuju, yaitu tanah yang tinggi yang menyerupai kerucut yang besar, di mana tanah tersebut sebagai tempat sembahyang raja-raja ketika dilantik dan disumpah yang letaknya di Dara dan kini dekat komplek makam pahlawan di Kota Bima.
Dou Mbojo hidup berkelompok dan berpindah-pindah dari satu tempat ke tempat yang lain, dipimpin oleh seorang kepala kelompok yang dikenal dengan Ncuhi. Sebelum nama Bima resmi menjadi nama wilayah paling timur Pulau Sumbawa, mereka disebut dengan Dou Mbojo atau orang Bima. Tugas pemimpin kelompok atau Ncuhi adalah mengatur tatanan kehidupan anggota kelompok dan menjaga keamanan di dalam kelompoknya sendiri maupun gangguan kelompok lain. Seorang Ncuhi haruslah kuat fisiknya dan mempunyai kekuatan gaib untuk mengayomi kelompoknya. Biasanya pemimpin kelompok menentukan tempat yang baik untuk tinggal sementara atau tetap. Apabila mereka menemukan suatu tempat yang dapat memberi kehidupan dan rasa aman, disitu mereka mendirikan dangau yang sangat sederhana. Orang Bima dulu membangun dangau atau pondok bertiang empat, beratap alang-alang atau daun kayu, berdinding kulit kayu. Keadaan tempat tinggal seperti itu sehingga membuat mereka mudah untuk meninggalkan begitu saja apabila akan pindah ke tempat lain.
Dou Mbojo/orang Bima memiliki bahasa sendiri yaitu bahasa Mbojo yang digunakan sebagai bahasa daerah di Kabupaten Bima. Bahasa tersebut termasuk bahasa- bahasa Austronesia yang tergolong bahasa Melayu-Polinesia Tengah dan kelompok bahasa Bima-Sumba (Bellwood, 2000: 153; Sjamsudin, 2013:71). Penutur bahasa Mbojo adalah juga orang-orang Dompu di Kabupaten Dompu, yang merupakan kabupaten tetangga di sebelah barat Kabupaten Bima. Di kalangan masyarakat Mbojo masa lalu, tulisan Arab- Melayu sangat umum digunakan, yang terlihat pada piagam kerajaan, surat- surat berharga yang menyangkut tanah, ternak, dan lain-lain. Akan tetapi pada masa kini tulisan itu sudah semakin jarang digunakan.
Sejak berdirinya kesultanan Bima tahun 1633 (Hilir Ismail: 2004), Bima memiliki hubungan yang cukup kuat dengan beberapa daerah terlebih hubungan Bima dengan Makassar. Orang Makassar, Bugis yang datang ke Bima semakin banyak karena mereka terdiri dari pedagang, politisi, ulama, pelaut dan militer. Kedatangan mereka cukup membantu bagaimana perkembangan politik dan agama di Bima. Adat istiadat tidak lain dari perpaduan antara adat asli Bima dengan adat Makassar dan Bugis. Orang Bima merupakan penganut islam yang taat, sehingga dalam kehidupan sosial budaya sehari-hari selalu diwarnai oleh ajaran islam.
Kehidupan Dou Mbojo atau orang Bima berdasarkan adat dan sara (hukum) walaupun di kalangan orang Bima mengenal bermacam-macam golongan masyarakat seperti sultan/raja, bangsawan dan rakyat biasa, namun hubungan ketiga golongan tersebut tetap bersifat demokratis dalam pengertian sangat tidak terlihat pengaruh feodalisme.
Orang Bima sangat cepat menyentuh masalah agama dan cepat menyentuh perasaan mereka. Mereka tidak segan-segan melakukan tindakan yang keras dan tegas terhadap orang yang dianggapnya melanggar hukum agama dan adat, tetapi pada akhir dan perkembangan yang semakin maju sikap tersebut semakin memudar.