Manusia pada dasarnya
pasti hidup berkelompok, sesederhana apapun suatu kelompok dalam masyarakat dan
sekecil apapun kelompok masyarakt itu pasti memiliki kebiasaan, pengajaran dan
bahasa untuk saling berkomunikasi. Secara umum dapat dibuat suatu pengertian
atau definisi tentang pendidikan dari yang sederhana sampai kepada yang modern.
Para antropolog tentu menemukan beragam definisi pendidikan, termasuk
pengajaran dari suku-suku atau kelompok suatu masyarakat dari yang sederhana,
atau biasa disebut “primitif” berpindah-pindah (nomaden), hingga yang menetap (primitive
sedentary) hingga masyarakat yang modern yang selalu bergerak dan
berpindah-pindah (modern nomaden society).
(Simanjuntak, 2014).
Secara umum dikatakan
bahwa pendidikan adalah suatu proses yang didesain untuk memindahkan atau
menularkan pengetahuan dan keahlian atau kecakapan serta kemampuan. Pemindahan
atau penularan itu berlangsung terus menerus dari suatu generasi kepada
generasi berikutnya. Pemindahan atau transmitting pengetahuan dan keahlian itu,
menurut penelitian tidak sama kadarnya antara satu unit keluarga dengan unit
keluarga lain. Seperti perbedaan lembaga pendidikan atau sekolah, universitas,
perpustakaan dan sebagainya pada negara-negara maju atau setengah maju. Kalau
di dalam masyarakat modern institusi pendidikan itu memiliki serangkaian
indikator pendukung yang sudah modern, sementara di dalam masyarakat sederhana
memiliki bentuk yang lain, baik dari metode penerapannya yang berbeda, serta
perlengkapannya yang berbeda. (Simanjuntak, 2014).
Mengacu kepada Atmadja
(2010) pendidikan sebagai suatu proses konstruksi, pada dasarnya
mengarah pada usaha menjadikan manusia agar menjadi makhluk dewasa. Kata dewasa
berasal dari bahasa Sansekerta, yakni “dewa”
dan “sya [sa]” yang berarti memiliki karakter seperti dewa atau
dewata. Jadi, pendidikan sebagai proses pendewasaan, bermakna menjadikan
manusia memiliki sifat-sifat luhur tak ubahnya seperti dewa atau dewata.
Berkenaan dengan itu maka pendidikan pada dasarnya bisa disebut sebagai suatu
proses dewaisasi atau dewataisasi. Manusia berkepribadian
menyerupai dewa berpedoman pada kebudayaan berwujud gagasan yang berlaku dalam
suatu masyarakat. Kebudayaan yang ditanamkan adalah warisan leluhur.
Karena itu, tidak mengherankan jika Duverger (1982: 365)
menyatakan bahwa “tujuan utama dari pendidikan adalah mewariskan kepada
generasi yang baru, semua pengalaman peradaban yang dikembangkan oleh
generas-generasi terdahulu”. Dalam perspektif etnisitas maka aspek yang
diwariskan secara lintas generasi tentu saja adalah hal-hal yang berkaitan
dengan apa yang menjadi identitas suatu etnik.
Kebudayaan sebagai
aspek kognitif dan aspek evaluatif yang diwariskan
secara menggenerasi amat penting, baik dilihat dari segi
identitas etnik maupun kemanfaatannya sebagai resep bertindak atau habitus (Bourdieu,
1977) bagi pendukungnya dalam kehidupan bermasyarakat dan bernegara.
Kelangsungan hidup suatu masyarakat sangat bergantung pada sejauh mana warganya
mampu mempertahankan kelangsungan kebudayaan yang dimilikinya secara
berkelanjutan.
Peran
pendidikan tidak bisa diabaikan, mengingat pendidikan sebagai proses dewaisasi secara
substansial berujung pada praktek kebudayaan dengan harapan yang bersangkutan bisa
bertindak secara baik dan benar dalam sistem sosial. Karena itu, pendidikan sebagai
enkulturasi atau pembudayaan. Pemakaian istilah pembudayaan berkaitan dengan
adanya kenyataan bahwa secara substansial pendidikan pada dasarnya adalah
mempelajari kebudayaan. Artinya, warga masyarakat mempelajari dan menyesuaikan
alam pikiran serta sikapnya dengan sistem nilai, norma, adat istiadat dan
peraturan-peraturan yang hidup dalam kebudayaannya (Koentjaraningrat, 2009).
Pendidikan sebagai
proses enkulturasi tidak
sebatas penanaman kebudayaan, yakni aspek kognisi dan aspek evaluatif dalam
pikiran, tetapi berlanjut pula pada bagaimana mempraktikkan atau
mengeksternalisasikannya dalam bentuk tindakan sosial. Dalam konteks ini
manusia yang berkarakter dewasa memiliki ciri-ciri karakter sebagai dewa, harus berlanjut pada kemampuan
bertindak secara baik dan benar dalam kehidupan bermasyarakat. Hal ini
merupakan suatu keharusan, mengingat manusia tidak hanya sebagai makhluk
individu, tetapi juga homo socius atau manusia sebagai makhluk sosial.
Bertolak dari
gagasan ini maka pendidikan tidak saja bisa disebut sebagai proses enkulturasi
atau pembudayaan, tetapi bisa pula disebut proses sosialisasi. Artinya, “dalam
proses ini seseorang individu dari masa anak-anak hingga masa tuanya belajar
pola-pola tindakan dalam interaksi dengan segala macam individu sekelilingnya
yang menduduki beraneka macam peranan sosial yang mungkin ada dalam kehidupan
sehari-hari” (Koentjaraningrat, 2009). Dengan berpegang pada
gagasan ini, maka dapat dikatakan bahwa “budaya tidak bisa dipisahkan hubungannya dari
pendidikan. Orang
yang dibesarkan dalam budaya akan belajar sesuai dengan apa yang dibutuhkan
budaya mereka”. Nilai-nilai dan norma-norma tidak bisa dilepaskan dari ideologi
dominan dalam masyarakat dan negara. Adapun yang dimaksud dengan ideologi adalah “sistem nilai
atau keyakinan yang diterima sebagai fakta atau kebenaran oleh kelompok
tertentu” (O’neil, 2008). Setiap Budaya dalam kehidupan masyarakat
ternyata memiliki nilai-nilai dan norma-norma yang sangat luas dan diyakini
sebagai sarana atau media untuk mengatur tata kehidupan masyarakat dan
mengatasi atau menyelesaikan berbagai persoalan yang terjadi.
Hubungan
pendidikan dan masyarakat diantaranya “Pendidikan dan perkembangan masyarakat
tidak dapat dipisahkan satu sama lain” (Abdullah Idi, 2011: 60). Kemajuan suatu
masyarakat dan suatu bangsa sangat ditentukan pembangunan sektor pendidikan
dalam penyiapan sumber daya manusia (SDM) yang sesuai dengan perkembangan
zaman. Sumber daya manusia bangsa Indonesia ke depan tidak terlepas dari fungsi
pendidikan nasional.
Pada tataran
nasional Indonesia mengenal ideologi negara Pancasila.
Pancasila sebagai ideologi bangsa merupakan hasil
konsensus nasional mengenai kehidupan bangsa yang harus diwujudkan atau
diselenggarakan dalam konteks “Bhineka Tunggal Ika”, artinya meskipun berbeda
tetapi tetap satu. Pendidikan tidak saja mencakup enkulturasi dan sosialisasi, tetapi terkait
pula dengan ideologisasi. Artinya, melalui pendidikan diwujudkan manusia dewasa
yang ditandai oleh anutan yang kuat terhadap ideologi Pancasila, nilai-nilai,
dan norma-norma yang tercermin pada tindakan sosial dalam kehidupan
bermasyarakat dan bernegara. Karena pentingnya pendidikan baik dalam konteks sosialisasi dan
enkulturasi maupun ideologisasi, maka tidak mengherankan jika setiap masyarakat
memiliki berbagai lembaga yang secara langsung maupun tidak mengemban peran
sebagai agen pendidikan. Agen pendidikan berperan mengiringi keberadaan suatu
masyarakat yang berlangsung secara menggenerasi melalui sistem pewarisan
sehingga melahirkan apa yang disebut agen pendidikan tradisional.